Sunday, February 15, 2015

Orang Tak Bersalah pun Bisa Jadi Narapidana Korupsi

Hidup di Indonesia itu ironis. Yang kuat merajalela, yang lemah masuk penjara. Biarpun masalahnya tidak berhubungan langsung dengan uang negara, tetap saja dengan segala cara tuduhan korupsi berubah menjadi dakwaan dan penjara.

Indar Atmanto dilaporkan oleh LSM pemeras, katanya IM2 memakai frekuensi tanpa membayar ke pemerintah, padahal mereka punya kontrak business-to-business dengan Indosat dan regulator baik Kemenkominfo maupun BRTI tak melihat ada pelanggaran sama sekali. Akhirnya tetap dijebloskan ke penjara.

Lutfi Hasan Ishaq direkayasa seolah bersekongkol dengan Fathonah, untuk mempengaruhi menteri pertanian soal kuota impor sapi, dengan imbalan uang suap, padahal uangnya dimakan Fathonah sendiri, tak terbukti sampai ke LHI, swasta ke swasta, tak terbukti ada perubahan regulasi, dan tak ada kerugian negara sama sekali. Akhirnya tetap dijebloskan ke penjara.

Ricksy Prematuri dilaporkan oleh LSM yang dalangnya pengusaha kalah tender bahwa proyeknya itu fiktif, padahal ia hanya menjalankan tugas perusahaannya, Chevron, untuk memonitor pekerjaan yang dilakukan pemenang tender subkontraktor proyek bioremediasi, proyeknya nyata, business-to-business. Akhirnya tetap dijebloskan ke penjara.

Semua kasus diatas sudah sampai ke tahap kasasi Mahkamah Agung, namun tetap divonis bersalah. Menurut logika keadilan Anda sendiri bagaimana? Masih menganggap semua orang di MA itu malaikat yang tak punya salah??

Maka tak heran bahwa media asing menulis tentang IRONI ini. Jadi orang jujur di Indonesia itu berat hukumannya.

Berita Okezone (12Sep2014):

Sidang kasasi terdakwa Ricksy Prematuri, selaku Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI), perusahaan rekanan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menyisakan pertanyaan besar. Putusan kasasi itu dihasilkan dari suara tidak bulat soal tafsir dan logika perkara korupsi.

Adapun aktornya adalah Leopold Luhut Hutagalung, seorang hakim agung yang menjadi anggota majelis yang mengadili perkara Ricksy. 

Hakim ad hoc MA itu mengajukandissenting opinion dan menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara pidana tersebut.

“Apabila dibenarkan cara mengadili kasus seperti ini, implikasinya amat luas sehingga setiap perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan kontrak antara swasta dengan swasta lainnya akan selalu dapat dijadikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi jika salah satu pihak swasta tersebut secara kebetulan memiliki kontrak dengan perusahaan negara,” terang Leopold.

Majelis Hakim MA diketuai oleh Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis yakni Leopold Luhut Hutagalung serta MS Lumme memutuskan Ricksy Prematuri bersalah dan dipenjara lima tahun melalui putusan kasasi bernomor 2330K/PID.Sus/2013.

Menurut Leopold, hubungan antara terdakwa Ricksy sebagai Direktur PT Green Planet Indonesia (PT GPI) dengan Widodo dan Alexiat sebagai karyawan CPI merupakan hubungan perdata.

Di mana, dalam hukum perdata dianut kebebasan berkontrak dengan pihak-pihak yang berkontrak. Tidak ada pihak yang boleh mencampuri pihak swasta untuk berkontrak.

“Bahwa kalau kemudian terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sebagai Direktur PT GPI maka terdakwa dapat digugat dalam perkara perdata oleh PT CPI sebagai lawan dalam berkontrak," terangnya.

"Ternyata, tidak pernah digugat oleh PT CPI. Bahwa turut campurnya Kejaksaan Agung dalam perkara ini melanggar asas berkontrak dari para pihak swasta dan menjadikan perkara ini menjadi aneh dan mengundang pertanyaan besar," ulasnya lagi.

Terdakwa Ricksy, menurut Leopold, tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum maupun menyalahgunakan wewenang serta tidak terbukti terjadinya kerugian negara dalam kasus ini.

Berita Varia (05Feb2015):

Putusan Mahkamah Agung terhadap eks Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto dipertanyakan banyak pihak. Indar dinilai tak patut dinyatakan bersalah dan juga IM2 tidak seharusnya membayar kerugian negara atas penggunaan pita lebar frekuensi 2,1 Ghz senilai Rp 1,3 triliun karena dakwaan korupsi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan adanya penggunaan frekuensi 2,1 GHz secara tidak sah yang dilakukan IM2. Namun, menurut anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, IM2 yang merupakan penyelenggara jasa internet memang semestinya tidak diwajibkan memiliki izin menggunakan frekuensi dan membayar BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekuensi.

“Dakwaan tindak pidana telekomunikasi (Tipitel) terhadap Indar Atmanto seharusnya bisa diselesaikan di tingkat eksekutif,” kata Nonot. Caranya, dengan mengadakan gelar perkara melalui sidang kabinet yang digelar pemerintah sebagai lembaga eksekutif dengan aparat penegak hukum di bawahnya. Misalnya, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kepolisian RI (Polri), dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

“Sekarang statusnya ruwet karena melibatkan institusi bukan lagi oknum, yaitu Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan Kejagung,” sambungnya.

“Kenapa dakwaan Tipitel ditangani dengan pengadilan Tipikor?” tanya Nonot.

Menurut dia, dakwaan terhadap Indar dan IM2 cenderung mengabaikan regulasi yang menjadi payung hukum bagi industri telekomunikasi dan turunannya. Yaitu, Undang-Undang Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Dalam dakwaan Tipikor yang menjerat IM2 disebutkan, terjadi perbuatan melawan hukum (PMH) yang merugikan keuangan negara. Alasannya, karena IM2 tidak membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi. Faktanya, kata Nonot, tidak ada PMH yang menyalahi regulasi telekomunikasi karena semua sesuai aturan dalam UU, PP dan Permen.

No comments:

Post a Comment