Orang Bengkulu yang merantau ke tempat lain, misalnya Jakarta, umumnya akan merindukan beberapa ikon kota asalnya. Ini hal umum yang terjadi pada perantau dari manapun. Lalu apa yang dikunjungi oleh perantau asal Bengkulu saat pulang kampung?
1. Pantai Panjangggggggggggggggggg............
Pantainya memang panjang, berkilo-kilometer. Umumnya dibagi menjadi 2 zona: zona rekreasi dan zona nelayan. Di zona nelayan bisa dijumpai banyak perahu nelayan dan gubuk-gubuk penjual ikan, terutama ikan asin. Di zona rekreasi, kebanyakan penghuninya adalah pedagang kelapa muda yang menguasai lahan pantainya masing-masing dan nyaris menutupi hampir sepanjang bibir pantai, serta bisnis seafood dan permainan air seperti banana boat.
Kebersihan adalah kekhawatiran utama mengingat masih buruknya kesadaran pengunjung untuk menjaga kebersihan. Sampah adalah kesan pertama yang akan dijumpai sejak pertama memarkir kendaraan di tepi jalan hingga berjalan diatas pasir menyisir tepi lautan. Tak ada gunanya memaki pemerintah lokal karena mereka sepertinya juga tak punya ide bagaimana mengelola lokasi wisata sebagaimana seharusnya. Dengan korupsi terstruktur yang sudah mendarah daging di daerah yang PNS-sentris seperti Bengkulu ini, tak aneh melihat pembangunan fisik di satu tahun akan diikuti kerusakan parah di tahun berikutnya.
Sementara itu, pantai akan terus tergerus oleh abrasi. Bibir pantai semakin tipis, jauh lebih tipis dari yang saya ingat sekitar 20 tahun lalu. Jangan berkunjung ke pantai ini saat masa libur lebaran, kecuali Anda memang menyukai keramaian tak tentu arah. Di luar masa liburan, Anda akan bisa lebih menikmati keindahan pantai ini, di pagi dan sore hari. Kita bisa pula menyisir pantai ini dari ujung ke ujung dengan kendaraan, lokasi jalan beraspal hanya maksimal 100 meter saja jauhnya dari tepi lautan.
2. Danau Dendam Tak Sudah
Ini adalah danau buatan Belanda. Nama aslinya De Daam, namun dengan keluguan bangsa kita di masa lalu, ditambah kegenitan untuk mengaitkannya dengan cerita-cerita fiktif pengantar tidur, jadilah namanya seperti sekarang. Sayangnya akses utama ke danau ini hanyalah di satu sisi yang panjangnya mungkin hanya sekitar 200-300 meter saja. Tambahan lagi, sepanjang tepi danau yang bisa diakses ini hampir keseluruhannya sudah tertutupi oleh pondok-pondok kecil milik pedagang kelapa muda (lagi!!). Sebenarnya ada akses lain ke tepi danau ini yang masih alami, belum dibangun apapun. Namun, saking alaminya, kita pun harus melewati jalanan kampung yang masih buruk. Saya pun belum pernah melewatinya. Sayang sekali, kemampuan masyarakat, apalagi pemerintah lokal, dalam mengolah apa yang dimiliki memang masih buruk, jika tidak boleh dibilang 'memalukan'. Ini adalah danau buatan, sekali lagi, BUATAN. Jadi mestinya sedikit rekayasa kecantikan bisa dilakukan untuk membuat danau ini lebih ramah wisatawan. Tapi, untuk membuat jogging track mengitari danau ini saja mungkin mereka belum terpikir. Sementara itu, eceng gondok akan terus menjadi musuh yang mengintai untuk menutupi permukaan airnya, mematikan kecantikannya.
3. Benteng Fort Marlborough
Yang selalu dibanggakan oleh orang Bengkulu adalah sejarah masa lalu saat pernah dijajah oleh petualang Eropa. Inggris pernah menguasai Bengkulu (serta semenanjung Malaya). Namun di saat bersamaan, Belanda menguasai hampir keseluruhan pulau Sumatera (kecuali Bengkulu tentunya), dan pulau kecil bernama Singapura. Untuk memudahkan operasi bisnis mereka, maka kedua petualang ini pun membuat perjanjian bersejarah, tukar guling Bengkulu dengan Singapura. Maka Belanda akhirnya menguasai keseluruhan pulau Sumatera, sedangkan Inggris menguasai Malaya dan pulau Singapura sebagai basis pelabuhannya. Banyak orang Bengkulu berandai-andai, jika masih dijajah Inggris, Bengkulu mungkin sudah semaju Singapura sekarang, jadi anggota organisasi Persemakmuran pula. Sebuah impian palsu mengingat rendahnya mutu SDM mereka sejak kemerdekaan 1945.
Benteng ini cukup besar, berisi beberapa kuburan, barak-barak, ruang-ruang penjara, terowongan dan meriam-meriam. Dari puncak benteng ini kita bisa melihat laut dengan pandangan yang lepas tanpa halangan, termasuk perahu-perahu nelayan yang bersandar di pelabuhan perikanan Tapak Paderi.
4. Masjid Jamik Bengkulu
Keunikan utama masjid ini menurut hemat saya hanya pada sejarahnya yang dirancang oleh salah satu insinyur teknik sipil angkatan pertama di Indonesia: Ir. Soekarno. Saat ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Bengkulu, Bung Karno bukan sekedar dipenjara dalam sel-sel dingin benteng Marlborough. Beliau masih diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan penduduk lokal, bahkan menikahi perempuan asli Bengkulu, Fatmawati. Bukan hanya itu, beliau juga membantu pembangunan masjid jami' yang letaknya di pusat kota itu.
Saat ini, masjid jamik Bengkulu berada di tengah-tengah persimpangan jalan yang menghubungkan kawasan Simpang Lima/jalan Suprapto dengan Kampung Bali dan Fort Marlborough. Ukurannya mungkin cukup besar untuk ukuran masa lalu, namun sudah kalah oleh Masjid Raya dan Masjid Akbar Bengkulu di masa kini.
5. Kawasan Belanja Oleh-oleh Anggut
Letaknya diantara Simpang Lima dan lokasi wisata Rumah Peninggalan Bung Karno. Sejak dulu, LEMPUK adalah oleh-oleh andalan dari Bengkulu. Dodol yang terbuat dari campuran buah durian ini tidak terlalu khas Bengkulu sebenarnya. Makanan dengan nama sama bisa dijumpai di Palembang, Jambi, bahkan sebagian Kalimantan. Kebanyakan makanan yang dijual sebagai oleh-oleh adalah juga produk khas daerah lain, misalnya kerupuk dan kemplang Palembang. Begitu pula tekwan, pempek, kue baytat, manisan terong. Mungkin keripik Beledang yang lebih khas Bengkulu.
Batik Besurek adalah produk garmen khas Bengkulu. Sesuai namanya, Batik ini punya kekhasan dalam motif yang cenderung membentuk huruf Arab.
6. Tradisi Tabot
Menjelang tahun baru penanggalan Hijriah (1 Muharram), mulai muncul persiapan-persiapan menjelang perayaan upacara Tabot. Konon ceritanya tradisi ini dibawa oleh imigran dari Irak, dan merupakan peringatan atas terbunuhnya dua cucu Rasulullah SAW dalam tragedi yang dikenal sebagai peristiwa Karbala. Di masa kini, tradisi berbau Syiah ini justru dilestarikan oleh pemerintah daerah Bengkulu mengingat tidak banyaknya agenda tradisi budaya yang dimiliki warga lokal. Tabot direpresentasikan oleh bentuk-bentuk tugu berhias yang diarak keliling kota, dipajang, lalu dibuang ke rawa-rawa di daerah yang juga dinamai 'KARBELA' di tengah kota Bengkulu.