Kemana lagi harus mengadu? Konsumen berada pada posisi tersudut ketika bersengketa dengan penjual atau produsen. Lebih-lebih jika yang dijual adalah service. Siapa yang bisa mengukur kualitas sebuah service? Baik buruk dan normalnya sebuah paket pelayanan standarnya apa? Kalau pelayanan menjadi buruk dalam kacamata konsumen, siapa yang bisa jadi hakim?
YLKI adalah lembaga nirlaba, non pemerintah. Sejak dulu geliat YLKI dari sudut pandang publik hanya sebatas edukasi, pendampingan. Tidak ada lembaga yang benar-benar bertugas menjemput secara proaktif, dan mengadili sengketa konsumen. Ataukah sudah ada tapi publik belum tahu?
Akhirnya si kuat yang selalu menang. Siapa si kuat? Tentu saja korporasi yang punya kekuatan finansial dan dikawal oleh pengacara-pengacara mahal. Sedangkan konsumen, mereka selalu saja hanya sendirian. Jika konsumen melawan, mereka akan diserang balik lebih keras. Konsumen tuntut pengusaha minta maaf dan kompensasi uang, maka pengusaha akan tuntut si konsumen masuk penjara sekaligus bayar uang pembersihan nama baik yang lebih besar lagi.
'Jangan pernah tuntut pengusaha, kalian para konsumen akan lebih menderita'. Mungkin itulah kredo hukum konsumen di Indonesia. Akhirnya berbisnis di negeri ini begitu leluasa. Kekuatan konsumen tidak sesolid kekuatan buruh. Organisasi buruh bisa memobilisir massa buruh untuk berdemonstrasi memacetkan jalan. Organisasi konsumen? Seharusnya mereka dilindungi oleh pemerintah, layaknya wasit sepakbola memproteksi penjaga gawang. Dalam sepakbola, penjaga gawang mengeluh sedikit maka wasit akan mendengarkan. Konsumen? Siapa yang mau berpihak ke mereka? Pemerintah? Kabinet dibentuk dengan pertimbangan pengusaha. Mana bisa konsumen diutamakan.
Maka pengusaha akan menjadi-jadi. UU Perlindungan Konsumen membutuhkan komitmen untuk dilaksanakan. Selama komitmen hanya di mulut semata, tak ada gunanya, UU macan ompong semata. Maskapai penerbangan yang sering sekali disorot karena pelayanannya yang sekelas perusahaan otobus, akan selalu bisa mempermainkan konsumen kapanpun ada kesempatan. 'Kalian para konsumen hanya bayar murah, tapi minta dilayani seperti raja?' Jadi konsumen dianggap keterlaluan kalau menuntut kekurangan layanan karena hanya bayar murah belaka. Ada rupa ada harga. Konsumen harus memaklumi kesalahan pengusaha. Pengusaha sudah berbuat maksimal, untuk melayani jutaan orang. Kalau ada 1-2 orang yang dapat pelayanan dibawah standar, tutup mulut sajalah, terima nasib, anggap diri sebagai tumbal, demi kepentingan jutaan konsumen lainnya, demi nama baik pengusaha.
Konsumen hanya bisa mengadu ke sesamanya. Namun apa daya, konsumen lain justru tidak mengalami layanan seburuk dia. Ahirnya konsumen gigit jari, makan hati. Nasib konsumen di Indonesia, dianggap benda mati tanpa perasaan.
No comments:
Post a Comment