Saturday, July 5, 2014

Liberal vs Konservatif di Pilpres Indonesia

Melihat konstelasi politik akhir-akhir ini, polarisasi dukungan cenderung mengarah pada 2 kutub. Seolah sudah takdirnya, Pilpres 2014 hanya memberi ruang bagi 2 calon presiden saja. Mungkinkah ini akan berlanjut di masa depan? Lalu siapa saja rombongan dalam kedua kereta itu?

Kita lihat Jokowi cenderung didukung oleh unsur pembela HAM dan kesetaraan gender. Ada tokoh tertentu yang jadi representasi jelasnya. Tapi dibalik itu ada nada-nada liberalisme di belakangnya. Pro lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) akan merasa lebih nyaman di kubu Jokowi. Pendukung pasar bebas pun begitu. Isu yang lebih hangat adalah soal Komunisme. Isu ini sebenarnya tidak baru-baru amat mengingat anggota parlemen partai pendukung Jokowi memang ada yang masih keturunan PKI dan bahkan menulis buku yang terbuka sekali soal itu. Yang gerah dengan perilaku korupsi yang belum juga bisa dibasmi cenderung mengidentifikasikan diri dengan Jokowi, walaupun sebenarnya perilaku korup juga berjangkit parah di kalangan partai pendukungnya. Kubu ini bisa jadi adalah gabungan individu-individu progresif dan sedikit radikal kiri. Sikap mereka lebih reformis dalam baju liberalisme.

Sementara itu, di sisi Prabowo berkumpul unsur-unsur yang diidentifikasi publik sebagai pewaris orde baru. Sebagai mantan menantu penguasa saat gelombang reformasi meninggi, Prabowo pun selalu dikejar-kejar tuduhan pelanggaran HAM saat masih aktif sebagai militer. Banyak partai berbasis massa Islam berada di kubu ini, walaupun partai berbasis massa kelompok Islam tradisional justru ada di pihak sebaliknya. Kutub yang satu ini, rentan dengan tuduhan sebagai sarang koruptor mengingat latar belakang pendukungnya. Pendukung nasionalisasi aset cenderung mengidentikkan diri di kubu ini. Begitu pula yang merasa nyaman dengan stabilitas selama masa SBY dan Soeharto. Kubu ini bisa jadi adalah gabungan individu-individu proteksionis dan reaksioner kanan. Sikap mereka lebih nasionalis dan industrialis dalam baju konservatisme.

Semakin jelas bahwa pilpres 2014 merupakan ujian awal bagi konsep bipartisan Indonesia di masa depan. Golongan Liberal Demokrat di satu sisi, dan Konservatif Republikan di sisi lainnya. Ini akan menyederhanakan pola kehidupan bernegara di masa depan jika benar-benar terwujud.

Lalu adakah kemungkinan alternatifnya? Saya merasa, harus ada Ummatan Wasathan yang posisinya sebagai penyeimbang. Harus ada kekuatan politik lain yang bisa jadi wasit, dan ini urgent. Kekuatan politik ketiga ini, tidak perlu jadi yang terbesar, tidak pula harus memihak. Namun mereka harus mampu mempengaruhi cara berpikir masyarakat dan arah gerak kebijakan publik.

No comments:

Post a Comment