Subsidi BBM dan elpiji sudah dicabut. Subsidi listrik sedang dicabut bertahap. Tak ada beras gratis Raskin untuk rakyat miskin. Subsidi kereta ekonomi ditiadakan. Subsidi pupuk untuk petani juga menunggu giliran dihapuskan.
Pencabutan subsidi adalah upaya untuk mengurangi beban berat anggaran negara. Tujuannya tentu agar anggaran lebih lincah bisa dipakai membiayai kebutuhan lain. Jadi, anggaran adalah panglimanya. Jika anggaran bilang YA, maka pos pengeluaran pun sah sudah. Dan sebaliknya jika TIDAK.
Anggaran yang bebas dari segala macam pengeluaran subsidi untuk rakyat tidak diragukan lagi akan jadi anggaran yang lebih gesit. Itu mungkin tujuan yang ingin dicapai rezim Jokowi. Jika rezim sebelumnya, SBY, dianggap terlalu lamban di sisi pembangunan infrastruktur, maka rezim Jokowi ingin menjadi antitesanya. Kelincahan Jokowi beranjangsana (baca: blusukan) tentu harus ditopang anggaran yang sama lincahnya.
Dalam bayangan saya, dengan hilangnya subsidi atas beberapa barang modal, diharapkan semangat kompetisi akan makin kencang. Sektor swasta bebas berekspansi, datangkan utang luar negeri ataupun saham asing sebanyak-banyaknya, agar roda ekonomi bergerak kencang. Tak ada lagi ketimpangan antar pelaku ekonomi, antara yang memanfaatkan subsidi maupun yang tanpa subsidi. Semua harus berjuang untuk hidupnya masing-masing. Tak diragukan lagi, kita sudah di fase lanjutan dari kombinasi maut liberalisme dan kapitalisme bertopang demokratisme. Kenaikan harga yang terjadi adalah efek "sementara" akibat dari hilangnya subsidi. Harga-harga akan bergerak ke titik keseimbangan baru.
Akibat dari kompetisi di pasar bebas, tentu saja akan ada yang menang dan yang kalah. Yang menang akan makin besar, ekspansi yang didukung oleh naiknya nilai saham mereka. Yang kalah akan bangkrut, mungkin pekerjanya jadi pengangguran, lalu aset dibeli oleh pemodal lain atau jadi barang bekas, tergantung skalanya.
Yang tak punya modal dan kalah terampil akan jadi pengangguran dan jatuh miskin. Bagaimana sebuah rezim liberal menangani ini? Tiga Kartu Sakti itulah jawabannya. Masyarakat miskin harus dijamin kesehatan dan pendidikan anak-anaknya. Tapi jangan dijejali subsidi. Modali mereka untuk berkompetisi lagi, dan jika kalah, ya bagaimana lagi. Toh kartu sakti masih ada, hanya subsidi yang tidak ada.
Tidak ada Jaring Pengaman Sosial. Ini kan bukan rezim sosialis!
No comments:
Post a Comment