Tiap kali atlet kita kalah dalam pertandingan internasional, maka para pembinanya akan membuat apologi: "Secara skill kita tidak kalah, hanya mental bertanding yang kurang. Para pemain kita bermain tidak tanpa beban."
Ayolah, jangan gunakan alasan ini melulu. Sudah jelas skill-nya memang pas-pasan, masih mau bilang ini masalah mental? Katakanlah dalam tiap pertandingan atlet kita hanya mampu menunjukkan 50% kemampuannya karena "demam panggung" dan sebagainya. Fokus kita seharusnya, bagaimana agar kemampuan 50% ini tetap lebih unggul daripada 100% -nya lawan. Kalau lawan dengan 100% kekuatannya bisa cetak 5 gol, maka pemain kita cukup dengan 50% saja kemampuannya bisa cetak 6 gol. Tetap menang. Artinya, skill atlet kita harus 2 kali lipat skill negara lain agar bisa mengantisipasi momok mental itu tadi.
Semangat superioritas sepertinya belum ada dalam kamus pendidikan anak bangsa kita. Padahal tak ada salahnya mencontoh semangat ala Jerman dan Jepang ini. Pantang menyerah kala belajar dan berlatih, dengan visi yang jelas bahwa kita bisa lebih baik dalam kualitas dari bangsa apapun di dunia, justru cocok sekali untuk atlet maupun pelajar kita. Jangan merasa cukup bisa menyamai bangsa lain. Cukup itu kalau kita sudah 2 level diatas bangsa lain.
Kalau atlet kita sudah 2 kali lipat lebih baik kualitasnya dibanding lawan-lawannya, maka percayalah, kepercayaan diri akan tumbuh sendiri. Lihatlah Lionel Messi. Apakah postur tubuh bisa membuat dia percaya diri? TIDAK. Dia merajalela di lapangan karena tahu skill-nya jauh diatas lawannya. Kalaupun sedang di bawah form, dia tetap bisa bikin gol melawan tim yang kualitasnya lebih rendah. Dia baru terhenti ketika menghadapi tim yang memang punya ruh "uber alles" lebih tinggi.
No comments:
Post a Comment