Di sebuah negeri antah-berantah, pemilihan raja mulai memasuki babak panas. Dua kandidat teratas berhasil menyingkirkan pesaing lainnya. Mereka adalah Adipati Bejo, satria dari pelosok negeri, dan Patih Wowo, tokoh ningrat dari ibukota.
Patih Wowo mengandalkan koneksi selama dia mengurusi angkatan perang kerajaan. Pengikutnya sudah mengagumi dia sejak berhasil mengalahkan angkatan perang negeri tetangga saat memperebutkan gunung emas di perbatasan. Tapi banyak pula yang membencinya karena darah ningrat serta kedekatannya dengan raja lalim di masa lalu. Semua orang masih alergi dengan segala hal berbau si raja lalim.
Adipati Bejo, tokoh dari pelosok negeri. Sebagai seorang Adipati, dia menguasai tanah yang luas dan subur di lereng gunung berapi. Warga lereng gunung berapi menyukai sikap bersahajanya. Sering mereka melihat dia turun ke sawah dan selokan sekedar untuk berbincang dengan petani dan rakyat miskin. Para kuli tinta dan penyair menuliskan bait-bait sanjungan yang sontak membahana di seantero negeri hingga seberang lautan.
Sehari menjelang pemungutan suara akhir, Adipati Bejo mengumpulkan massanya di alun-alun ibukota. Seperti biasa ia melontarkan janji-janjinya yang indah. Seluruh rakyat akan dijamin kesehatannya. Dijamin pendidikannya, juga kesejahteraannya. Jaminannya unik. Semua berupa kartu: kartu pasti sehat, kartu pasti pintar, kartu pasti sejahtera. Banjir besar yang melanda tiap tahun, akan enyah setelah 100 hari ia berkuasa. Jalan raya akan dibangun menghubungkan setiap kota.
Akhirnya, tibalah hari pemilihan raja baru. Para peramal telah menakwilkan mimpi-mimpi bahwa Bejo akan menang mudah. Pada kenyataannya, Bejo memang menang meski selisihnya tipis. Adipati Bejo pun menjadi Paduka Yang Dipertuan Agung Bejo. Akankah ia tetap dicintai rakyatnya?
No comments:
Post a Comment