Friday, November 21, 2014

Revolusi Mental Bangsa, Perlukah?

Setiap sebelum memulai shalat berjamaah, imam masjid di jaman modern ini biasanya sudah punya rentetan peringatan standar agar diikuti oleh para makmum. Yang sudah standar misalnya: "Luruskan dan rapatkan shaf", "Tolong isi shaf di depan yang masih kosong", "Yang bawa anak kecil tolong dijaga agar tidak mengganggu jamaah lain", atau kalo yang nyunah "Tolong digulung ujung bawah celana atau sarung Anda agar tidak menutupi mata kaki".

Tapi yang lebih menarik adalah peringatan ini: "Yang membawa hape tolong dimatikan/dinonaktifkan sementara waktu agar tidak mengganggu kekhusyukan shalat kita". Sudah jelas peringatan dari imam ini, tapi tetap saja ada yang bandel. Bunyi panggilan telpon atau SMS masuk tetap bersahutan saat shalat.

Kebandelan ini sepertinya sudah jadi cap di jidat bangsa kita, sudah mendarah daging. Contoh lain: mobil-mobil mewah yang mestinya dimiliki orang berduit, justru senang menggunakan BBM bersubsidi, dan kadang tertangkap mata buang sampah sembarangan dari jendela mobilnya. Jika ditegur malah bilang: "Saya anggota lho! Maksudnya apa kamu negur saya?" Membela kesalahan sendiri sambil mengancam.

Jika perilakunya jorok di negeri sendiri, ketika di luar negeri mereka justru rapi sekali. Seolah-olah orang paling bersih dan taat aturan umum. Contoh lain: restoran di pusat belanja furnitur IKEA punya aturan bahwa pengunjung harus membereskan bekas piring, sendok garpu dan gelasnya ketika selesai makan, dibawa ke tempat yang sudah ditentukan. Aturan ini tertulis di banyak tempat di restoran itu. Tapi tetap saja banyak yang meninggalkannya sembarangan di meja seolah aturan tertulis itu tak benar-benar ada.

Disinilah letak urgensinya Revolusi Mental ala Jokowi. Mental bangsa yang jorok, malas, susah diatur, harus dirubah menjadi bersih, giat, dan mau antre. Soal konsep implementasinya bagaimana, ini yang belum saya lihat di minggu-minggu awal pemerintah baru ini. Semoga bukan jargon muluk pencitraan belaka.

No comments:

Post a Comment