Sunday, June 22, 2014

Apa yang Seorang Pejalan Kaki Bayangkan Tentang Jakarta yang Menyenangkan?

Jakarta baru saja berulang tahun. Apakah kota ini masih jauh dari harapan Anda? Saya memandangnya begitu. Hanya orang bermobil yang disopiri dan dikawal voorijder saja yang bisa hidup nyaman di kota ini.

JALAN KAKI

Kalau boleh bermimpi, maka yang pertama kali saya bayangkan adalah jalan kaki menikmati sudut-sudut kota ini dengan nyaman. Saya ingin bisa jalan kaki dari rumah hingga tempat kerja tanpa ketemu paving block yang rusak, kios kaki lima yang menguasai trotoar, pot tanaman yang selebar trotoar, sepeda motor atau bahkan mobil yang parkir di trotoar, atau sepeda motor yang naik ngebut ke pedestrian/trotoar karena tak sabar menunggu lampu merah.

Trotoar mestinya bersih dari sampah, ada supervisor yang rutin memantau kondisinya. Tempat sampah tentu saja harus tersedia di banyak titik. Mental warga mestinya jadi prioritas Gubernur untuk direvolusi soal kesadaran akan kebersihan (eh eh eh). Trotoar harus aman dilewati 24 jam, jangan jadi tempat mangkal preman yang bisa mengganggu pejalan kaki seperti saya. Jadi, penerangan harus memadai dan pos polisi jangan terpencar terlalu jauh. Jembatan penyebrangan juga sering jadi titik rawan kejahatan. Jembatan penyebrangan sampai bisa dilewati oleh sepeda motor itu penyelewengan yang luar biasa. Zebra cross dengan timer dan alarm harusnya diberlakukan di semua tempat, tidak di daerah tertentu seperti di depannya Mall Ambassador saja.

Zebra cross jangan sampai diinjak-injak oleh pengguna sepeda motor ataupun mobil. Alangkah tidak nyamannya menyebrang namun harus meliuk-liuk diantara sepeda motor diatas garis-garis yang jelas zebra cross. Ukuran sebuah pedestrian layak atau tidak bisa dilihat dari apakah pengguna kursi roda dan tuna netra bisa berjalan sendirian tanpa kesulitan. Berarti, trotoar harus punya penanda jalur difabel, mulus mendatar tanpa lubang apa lagi sampai menganga, zebra cross harus pakai timer dan alarm dan bersih dari kendaraan, di jembatan penyebrangan atau daerah bertanjakan harus tersedia lift agar pengguna kursi roda bisa naik turun dengan mudah.

Tersedia bangku tempat duduk di trotoar yang jaraknya tidak saling berjauhan satu sama lain, tempat istirahatnya pejalan kaki. Jangan hanya halte bus yang ada tempat duduknya. Pohon yang rindang tapi tidak mudah tumbang harus ada dimana-mana. Pedagang kaki lima bukannya tidak boleh. Tapi mereka harus terdaftar, punya lokasi usaha yang jelas, tidak mengganggu fungsi pedestrian, tidak bikin kotor, bahkan harus punya tugas tambahan sebagai petugas kebersihan di lokasi usahanya.

Halte bus tidak hanya berfungsi sebagai tempat menunggu, tapi bisa sebagai tempat berteduh saat hujan, dan bisa pula sebagai lokasi usaha kaki lima terdaftar. Namun fungsi utama seharusnya sebagai titik informasi rute bus dan peta gedung atau obyek wisata terdekat. Pedagang kaki limanya bisa pula direkrut untuk jadi pemberi informasi gratis bagi wisatawan. Papan penunjuk arah harus jelas, tidak ambigu, multi bahasa, dan ada dimana-mana. Pemerintah kota macam apa yang pelit membantu kemudahan warga maupun tamunya berkeliling kota tanpa takut tersesat.

ANGKUTAN KOTA

Menurut saya, Jakarta seharusnya hanya punya 5 moda transportasi utama saja: Bus, Subway, Train, Taxi, Boat. Transportasi yang ada saat ini, bajaj, bemo, ojek, minibus (metromini, kopaja), bahkan Busway, adalah angkutan umum kelas dunia ketiga. Kalau Jakarta ingin jadi kota kelas satu dunia, moda -moda tersebut harus ditinggalkan.

Saya ingin, kalau mau naik bus saya tinggal jalan kaki ke halte bus yang ada dimana-mana dan menunggu dengan tertib disana. Saya tidak suka seperti sekarang, semua orang bisa naik dan turun angkot dimana saja termasuk di persimpangan. Angkot kejar-kejaran saling mendahului itu sangat tidak berkelas. Bus seharusnya tertib masuk dan keluar halte secara urut. Saya ingin, saat menunggu bus, saya tahu berapa menit lagi bus akan tiba. Menunggu bus lebih dari 20 menit itu terlarang. Kepastian itu wajib. Bus pun tidak butuh kondektur. Penumpang harus bawa kartu, tinggal tempel kartu di pintu saat masuk dan keluar bus. Kalau tidak bawa kartu, dia harus bayar dengan uang pas dan tidak boleh minta kembalian.

Bus itu harus banyak dan menjangkau seluruh jalan raya. Ukurannya, jarak jalan kaki warga ke lokasi halte bus terdekat tidak melebihi 500 meter. Bus kota mestinya rutenya pendek karena hanya untuk menjangkau daerah yang belum dilalui Subway maupun Kereta/Tram. Saya ingin bus kota itu selalu ada Key Performance Index-nya berdasarkan ketepatan waktu dan kelayakannya. Ambil contoh busway yang ada saat ini, kalau sampai ada bus yang ketika hujan atapnya bocor dan membuat banjir tempat duduk penumpang, itu berarti supervisinya teledor sekali, amatiran, nol besar, karena kondisi bus berada pada level yang seharusnya tidak laik jalan.

Subway, atau MRT, atau Monorail, atau apalah namanya, ditandai dari kecepatannya yang tinggi dan daya angkutnya yang massif. Fungsinya menghubungkan antara simpul pemukiman dengan pusat-pusat bisnis. Jadi, daerah-daerah seperti Bekasi Barat, Bekasi Timur, Cikarang, Pondok Gede, Cibubur, Cimanggis, Depok, Cinere, Pamulang, Ciputat, Bintaro, Serpong, Ciledug, Tangerang, Bandara SHIA, harus punya stasiun MRT ini. Sedangkan di tengah kota, jalur-jalur bisnis seperti Sudirman, Thamrin, Gatot Subroto, Gadjah Mada, Simatupang, Kelapa Gading, harus disinggahi oleh MRT. Pasar, perkantoran, mall utama, juga mesti bisa diakses oleh MRT, misalnya Pasar Minggu, Pasar Senen, Tanah Abang, Mangga Dua, SCBD, Lebak Bulus, Metropolitan Bekasi, Karawaci Tangerang, Jatinegara, Tanjung Priok.

Busway yang ada sekarang, konsepnya bagus. Jalur khusus yang tidak boleh dilalui kendaraan selain bus. Namun jika ingin lebih restricted, kenapa tidak pakai kereta ringan atau Tram? Jalurnya bisa dibikin agar susah dilewati mobil atau sepeda motor. Tram takkan bisa kebut-kebutan saling mendahului antar Tram karena jalurnya hanya satu. Jadwal yang teratur akan lebih mudah dikendalikan. Cocok untuk jalur sempit seperti antara Tanjung Barat, Pasar Minggu, Pancoran, sampai ke Manggarai. Cocok pula untuk menghubungkan Kampung Rambutan, Kramatjati, Cililitan, Cawang, hingga Kampung Melayu. TRAM juga cocok untuk jalur wisata, misalnya dari Ragunan ke Monas lalu ke Ancol. Yang saya bayangkan, jika dari rumah misalnya di Condet mau ke Ancol, saya jalan kaki sedikit ke jalan raya Condet, naik bus ke Cililitan, pindah ke tram sampai Kampung Melayu, pindah ke tram lain sampai ke Ancol. Misal dari rumah di Tebet mau ke kantor di Slipi, maka saya bisa jalan kaki dulu ke halte bus katakanlah di Pasar Tebet, lalu naik bus turun di Pancoran, lalu sambung MRT ke Slipi.

Kereta regular sekelas KRL sekarang, seharusnya dikonsentrasikan untuk mengakses kota yang dekat, misalnya Bogor, Puncak, Karawang, Serang, dengan jarak antar stasiun yang lebih renggang. Rute Puncak mestinya bisa digarap sebagai rute wisata yang menguntungkan. Sungai Ciliwung, BKB, BKT, mestinya bisa dilalui oleh boat (wisata) dengan dermaga-dermaga kecil sepanjang sungai.

Yang saya bayangkan, jika dari rumah misalnya di Duren Tiga ingin ke Tambun Bekasi, saya cukup jalan kaki melewati trotoar yang lebar, mulus dan berpohon rindang ke halte Tram di - katakanlah - simpang Duren Tiga, menunggu 5 menit, lalu naik Tram yang santai dengan pemandangan gedung bertingkat tapi tepat waktu 3 menit menuju Kuningan junction untuk berganti moda ke MRT, menunggu 3 menit lalu naik MRT yang nyaman dan aman selama 20 menit ke stasiun Bekasi Timur, dilanjut dengan bus atau angkot ke Tambun Bekasi. Berkelana seputar Jakarta jadi mudah dan ringan. Saya tak perlu berpikir mengatur uang receh untuk ongkos, karena satu kartu bisa dipakai untuk naik bus, MRT, kereta, tram, boat sekaligus. Cukup tap-in dan tap-out saja. Kegiatan fisik selama perjalanan hanyalah jalan kaki, berdiri, duduk. Tidak perlu lompat-lompat menghindari lubang selokan, meliuk-liuk hindari trotoar rusak dan gerobak kaki lima, loncat tinggi naik turun bus, menunggu di halte atau stasiun yang becek dan bau pesing.

TAMAN & SEPEDA

Turun dari bus, turun dari kereta, lelah berjalan kaki, mestinya kita bisa langsung ngadem di mall ber-AC. Tapi saya lebih suka jika bertemu ruang terbuka dengan rumput hijau dan pepohonan rindang di tengah kota. Monas itu ideal sekali posisinya. Andai ada stasiun pemadu moda transportasi yang punya akses pedestrian langsung ke taman Monas, alangkah nyamannya berolahraga santai.

Lingkungan lainnya yang serupa adalah kawasan olahraga Senayan. Jangan penuhi kawasan taman kota dengan PKL dan sampah. Sekali lagi, PKL itu mestinya terdaftar, punya izin lokasi dan izin waktu usaha yang resmi, punya kepedulian pada kotanya sendiri. Hari Sabtu dan Minggu adalah harinya olahraga pagi, car free day, pasar kaget. Tapi mestinya setiap warga bisa melakukan olahraga tiap hari dengan kualitas yang sama. Jakarta kita sekarang ini kekurangan plaza, lapangan, dan trotoar yang luas. Padahal trotoar idealnya bisa dibagi untuk kegiatan-kegiatan yang berbeda, semisal ada jogging track, jalur jalan kaki penglaju, jalur difabel, jalur istirahat atau taman kecil tempat duduk-duduk, jalur PKL, toilet umum. Sangat tidak tepat mengorbankan trotoar untuk parkiran motor dan mobil, atau dikuasai oleh PKL dan dikotori sampah makanan, dikurangi untuk jalur sepeda dan lain-lain. Kalau untuk parkiran sepeda masih bolehlah.

Jalur sepeda mestinya diambil dari jalur kendaraan bermotor, bukan trotoar. Dan harus istimewa, tidak boleh dipakai untuk keperluan lain, termasuk untuk parkiran kendaraan bermotor. Sepeda tidak perlu dibawa masuk ke kantor atau mall. Diantara jalur sepeda dan trotoar bisa disediakan platform-platform besi tempat merantai sepeda.

Toilet umum dan tempat sampah mestinya bukan hal yang langka. Semakin banyak warga yang beraktifitas outdoor, makin dibutuhkan fasilitas pendukungnya. Mestinya bisa dibuat statistik dimana saja titik hotspot dimana warga banyak berkumpul, disitu pula harus ada toilet dan tong sampah lebih banyak. Di jam istirahat kerja, saya akan lebih senang makan siang di ruang terbuka. Taman adalah pilihan utama. Yang saya butuhkan tersedia disana. Warung soto yang menjaga kebersihan misalnya, tempat duduk atau lesehan yang nyaman dan tidak tersengat matahari. Teman saya yang perokok bisa menemukan ruang khusus perokok dengan mudah, agar tidak mengganggu kesegaran udara taman. Sementara saya bisa mampir ke toilet yang bersih tanpa perlu antri lama lalu sholat di musholla terdekat sebelum kembali ke kantor. Itulah taman kota ideal buat saya.

Di musim hujan, yang paling tidak disukai pejalan kaki di Jakarta adalah genangan air yang tidak bisa dilewati tanpa merendam sepatu. Bukankah genangan atau banjir ini hanya soal drainase yang buruk? Bukankah Pak Gubernur sudah tinjau gorong-gorongnya? Selokan itu harus lebar, setinggi dan selebar manusia. Harus bisa dipakai untuk mengalirkan air sekaligus jadi jalur kabel maupun pipa-pipa. Tak elok betul menyetujui bongkar pasang trotoar sebulan sekali di tempat yang sama untuk keperluan berbeda, mulai dari kabel listrik, pipa gas, kabel telpon, kabel optik, kabel segala macam. Pejalan kaki hanya bisa urut dada ketemu becek dan becek lagi, lubang lagi, genangan lagi, banjir lagi, tak bisa lewat lagi dan lagi. Cukup sekali ganggu trotoar untuk gali terowongan yang sangat lebar sekalian, selebihnya jika hanya ingin pasang sambungan pipa dan kabel, cukup buka penutup gotnya saja dan kerjakan malam hari agar tidak mengganggu pejalan kaki di esok harinya.

Bagaimana pendapat Anda?

No comments:

Post a Comment