(blog.sevenponds.com) |
Dalam hidup, kelahiran dan kematian itu Sunnatullah. Tiap hari ada manusia baru lahir, ada manusia lama mati. Bergantian terus penghuni bumi dari golongan manusia, sejak Adam dan Hawa diturunkan sebagai yang pertama.
Dalam kelahiran, ada kebahagiaan. Mengapa? Apakah karena itu memang naluri manusia untuk selalu menyambut gembira datangnya kehidupan baru? Atau bahagia karena sang ayah dan bunda mendapatkan titipan dari Allah SWT (anak = rezeki)? Atau bahagia karena doa-doa dikabulkan Allah SWT setelah penantian panjang untuk memiliki keturunan?
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh," (QS. Ash-Shafat: 100).
"Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa," (QS. Ali Imran: 38).
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa," (QS. Al-Furqan: 74).
Apakah ada alasan untuk tidak berbahagia menyambut kelahiran?
Dan bersama kematian datang pula kesedihan. Mengapa? Apakah karena inilah naluri manusia yang tidak menyukai perpisahan? Ataukah kesedihan karena, misalnya, belum sempat melakukan yang terbaik atau berbakti kepada si orang yang wafat itu? Ataukah karena ingat bahwa kematian adalah pelajaran paling berharga bagi yang masih hidup, bahwa hidup itu hanya sementara, dan tiap orang menunggu giliran masing-masing untuk "pergi", lanjut ke alam berikutnya?
Dalam shalat jenazah kita diajarkan untuk mendoakan si jenazah:
"Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkanlah dia, ampunilah kesalahannya, muliakanlah kematiannya, lapangkanlah kuburannya, cucilah kesalahannya dengan air, es dan embun sebagaimana mencuci pakaian putih dari kotoran, gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik, gantilah keluarganya dengan keluarga yang lebih baik, gantilah istrinya dengan istri yang lebih baik, hindarkanlah dari fitnah kubur dan siksa neraka." (HR. Muslim)
"Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, maafkanlah dia, ampunilah kesalahannya, muliakanlah kematiannya, lapangkanlah kuburannya, cucilah kesalahannya dengan air, es dan embun sebagaimana mencuci pakaian putih dari kotoran, gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik, gantilah keluarganya dengan keluarga yang lebih baik, gantilah istrinya dengan istri yang lebih baik, hindarkanlah dari fitnah kubur dan siksa neraka." (HR. Muslim)
Dan di waktu-waktu yang utama kita dianjurkan untuk berdoa bagi diri sendiri:
“Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku adalah umur yang terakhirnya, sebaik-baik amalku adalah amal-amal penutupannya dan sebaik-baik hariku adalah hari saat aku menghadap-Mu.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath. Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Mambaul Fawaid, 10/158 no. 17267 menshahihkan sanadnya)
“Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku adalah umur yang terakhirnya, sebaik-baik amalku adalah amal-amal penutupannya dan sebaik-baik hariku adalah hari saat aku menghadap-Mu.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath. Al-Hafizh Nuruddin Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Mambaul Fawaid, 10/158 no. 17267 menshahihkan sanadnya)
No comments:
Post a Comment