(Getty Images) |
Mana yang lebih disukai, banyak pilihan atau sedikit pilihan? Pilihan yang terbatas terkesan tidak memerdekakan bagi mereka yang harus memilih. Bagaimana kalau kita ke warung, dan makanan yang tersedia hanya ayam goreng dan telor ceplok? Mungkin kita ingin pindah cari warung lain yang jual tempe goreng dan tahu bacem.
Tapi kadang memang pilihan harus dibatasi agar si pemilih lebih fokus dan memudahkan administrasi. Misal: lulusan SMA yang ikut seleksi masuk PTN biasanya harus memilih 2 alternatif saja: PTN pilihan pertama dan pilihan kedua. Jika tidak dapat keduanya, ya silakan cari jalur seleksi lain atau masuk PTS.
Jika dikembalikan ke pertanyaan pertama, tentu lebih banyak pilihan lebih disukai, karena sesuai dengan intuisi manusia yang menghendaki kebebasan memilih. Tapi intuisi manusia pula yang menyukai penyederhanaan, sehingga ketika seorang pimpinan perusahaan ingin merekrut karyawan baru, dia akan minta HRD menyeleksi lebih dahulu dari seluruh pelamar yang mengirimkan CV-nya, agar memperkecil pilihan menjadi shortlisted candidate yang layak untuk menjalani wawancara kerja.
Bagaimana dengan politik? USA sudah sejak lama menerapkan konsep bipartisan. Hasilnya, tiap warga Amrik adalah satu diantara dua: kalau tidak Republican berarti Democrat. Kecuali, kalau seseorang itu punya semangat untuk mendobrak kemapanan, menawarkan pemikiran alternatif, dan punya modal memadai, seperti Ralph Nader yang berulangkali ikut pencalonan presiden USA entah lewat partai hijau atau sebagai calon independen.
Tahun ini di pemilihan presiden, bangsa Indonesia hanya disuguhi 2 pilihan saja. Apakah cukup? Kenapa tidak dibuka saja keran untuk calon independen? Bagaimana kalau kedua pilihan itu tidak ada yang bagus? Apakah kita dipaksa untuk memilih yang terbaik diantara yang buruk? Atau memilih yang keburukannya paling sedikit? Atau memilih yang selisih antara kebaikan dan keburukannya lebih banyak kebaikannya? Your call!
No comments:
Post a Comment